3/23/2015

Stigmata


Stigmata adalah tanda luka-luka Yesus yang tersalib, yang muncul secara tiba-tiba pada tubuh seseorang. Termasuk dalam tanda sengsara ini adalah luka-luka paku di kaki dan tangan, luka tombak di lambung, luka di kepala akibat mahkota duri, dan luka bilur-bilur penderaan di sekujur tubuh, teristimewa di punggung. Seorang stigmatis, yaitu orang yang menderita akibat stigmata, dapat memiliki satu, atau beberapa, atau bahkan semua tanda sengsara itu. Stigmata dapat kelihatan, dapat pula tidak kelihatan; dapat permanen, dapat pula sementara waktu saja. 

Sebagian orang yang tidak percaya, akan menghubungkan tanda luka-luka yang demikian, yang muncul atas diri seseorang, dengan suatu penyakit atau bahkan dengan suatu kondisi psikologis tanpa memikirkan gagasan adikodrati. Tentu saja, Gereja juga pertama-tama berusaha memastikan bahwa luka-luka tersebut bukan berasal dari sebab-sebab alamiah, dan mencari bukti adikodrati guna membuktikan bahwa stigmata tersebut sungguh merupakan suatu tanda dari Tuhan. Gereja juga hendak memastikan bahwa stigmata tersebut bukanlah suatu tanda dari setan guna membangkitkan suatu kegemparan rohani yang menyesatkan orang banyak. Oleh sebab itu, karena stigmata merupakan suatu tanda persatuan dengan Tuhan kita yang tersalib, seorang yang benar-benar stigmatis haruslah hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan dengan gagah berani, tabah dalam menanggung penderitaan baik fisik maupun jiwa, dan hampir senantiasa mencapai tingkat persatuan ekstasis dengan-Nya dalam doa.

Tanda luka-luka dari stigmata yang benar itu sendiri juga berbeda dari luka-luka yang timbul akibat penyakit: Stigmata yang benar, sesuai dengan luka-luka Tuhan kita, sedangkan luka-luka yang timbul akibat penyakit akan muncul secara acak pada tubuh. Stigmata yang benar, mencucurkan darah teristimewa pada hari-hari di mana dikenangkan Sengsara Yesus (misalnya pada hari Jumat dan Jumat Agung), sementara luka-luka yang timbul akibat penyakit tidak demikian. Stigmata yang benar, memancarkan darah yang bersih serta murni, sedangkan yang timbul akibat penyakit memancarkan darah yang disertai nanah. Darah yang memancar dari stigmata yang benar, sekali waktu dapat terpancar dalam jumlah besar tanpa mencelakakan sang stigmatis, sedangkan yang berasal dari penyakit akan melemahkan orang secara serius hingga diperlukan transfusi darah. Stigmata yang benar, tak dapat disembuhkan baik melalui medis ataupun perawatan lainnya, sedangkan yang timbul akibat penyakit dapat disembuhkan. Yang terakhir, stigmata yang benar, muncul secara tiba-tiba, sedangkan yang timbul akibat penyakit muncul perlahan-lahan seturut periode waktu dan dapat dihubungkan dengan penyebab psikologis dan fisik yang utama.

Para stigmatis yang benar, mengalami keterkejutan atas munculnya stigmata. Tanda ini bukanlah sesuatu yang mereka “mohon dalam doa”. Terlebih lagi, dalam kerendahan hati, seringkali mereka berusaha menyembunyikannya agar tak menarik perhatian orang terhadap dirinya.

Stigmatis pertama “yang dinyatakan sah” adalah St Fransiskus dari Assisi (1181 - 1226). Pada bulan Agustus tahun 1224, ia dan beberapa biarawan Fransiskan lainnya mengadakan perjalanan ke Mount Alvernia di Umbria, dekat Assisi, untuk berdoa. Di sana, St Fransiskus memohon untuk diperkenankan ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus. Pada Pesta Salib Suci, 14 September 1224, St Fransiskus mendapat penglihatan: ia dipeluk oleh Yesus yang tersalib. Sengsara dari Jumat Agung yang pertama tercurah atas dirinya, dan ia menerima stigmata. St Fransiskus berusaha menyembunyikan tanda karunia ilahi ini dari yang lainnya, dengan membalut kedua tangannya dengan jubahnya dan mengenakan sepatu serta kaus kaki (yang tidak biasa ia lakukan). Lama-kelamaan, rekan-rekan biarawan memperhatikan perubahan dalam cara berpakaian St Fransiskus dan juga sengsara fisiknya, maka terungkaplah rahasia stigmatanya. Pada akhirnya, atas nasehat para rekan biarawan, St Fransiskus mulai membiarkan stigmatanya terlihat orang lain. St Fransiskus mengatakan, “Tak suatupun yang memberiku penghiburan begitu besar selain dari merenungkan hidup dan sengsara Tuhan kita. Andai aku hidup hingga akhir jaman, aku tak akan membutuhkan buku lain.” Sudah tentu, kasih St Fransiskus kepada Tuhan kita yang tersalib, yang diungkapkannya melalui perhatiannya kepada mereka yang malang dan menderita, mendatangkan karunia stigmata baginya.

St Katarina dari Sienna (1347-1380), yang dianugerahi pengalaman-pengalaman mistik dan penglihatan-penglihatan sejak ia masih berusia enam tahun, juga dianugerahi stigmata. Pada bulan Februari 1375, ketika mengunjungi Pisa, ia ikut ambil bagian dalam Misa di Gereja St Kristina. Setelah menyambut Komuni Kudus, ia tenggelam dalam meditasi mendalam, sementara matanya menatap lekat pada salib. Sekonyong-konyong, dari salib datanglah lima berkas sinar berwarna merah darah yang menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya, mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa hebat hingga ia jatuh tak sadarkan diri. St Katarina dari Sienna menerima stigmata, yang hanya tampak olehnya saja, hingga sesudah akhir hayatnya.

Mungkin stigmatis yang paling termasyhur adalah St Padre Pio. Ia dilahirkan pada tahun 1887, dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak umurnya masih lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan pada tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.” 

Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan di mana ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.

Sepanjang hidupnya, Padre Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juru selamat kita akibat tangan-tangan mereka yang berada di dalam maupun di luar Gereja, juga akibat setan. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya.
Artikel Menarik Lainnya

1 komentar:

Boleh saya bertanya, ini pertanyaan yang sama ketika saya membuat catatan tentang topik stigmata.

Kenapa stigmatis ini kebanyakan lahir di tanah biru, dan jarang ditemui publikasi stigmatis dari daerah lain di luar itu?

Apakah ini karena penghayatan orang di luar eropa yang rendah, sehingga kemungkinan itu sangat kecil terjadi?

Pertanyaan kebanyakan mereka yang skeptis mengenai hal ini.

Saya pribadi meyakini itu tanda dari Tuhan, hanya saja sebagai bahan instropeksi diri, kenapa tanda Tuhan turun di sana? Bisakah karena ingin menunjukan bahwa di sana sudah sangat krisis keyakinan, jadi perlu emosional shock? Sedangkan benua lain sdh pny keyakinan baik memahami tanda Tuhan sesungguhnya, seperti simbol non Thomas rasul yang tanpa perlu mencucukan jari ke luka Kristus namun tetap percaya.

Peraturan Komentar
- No Perdebatan
- No SARA
- No SPAM
- No Active Link
- No OOT (silahkan bertanya bila sesuai dengan topik pada artikel)
- Jika berpendapat, berkata dan berkomentar dengan kurang sopan maka secara otomatis akan dihapus

*Artikel diatas diambil dari berbagai sumber dan sengaja tidak mencantumkan sumber karena banyak artikel serupa dari berbagai sumber tersebut, selain itu mohon maaf tidak bisa mencantumkan juga penyedia link download dari film maupun sub credit jadi harap maklum*